06 May 2016
Bahasa yang universinal adalah musik, begitu orang berkata. Tapi ungkapan itu masih samar. Apa yang diungkapkan Billy Joel barangkali lebih jelas. “Musik adalah ekspresi kemanusiaan. Siapapun bisa tersentuh dan tak peduli dari budaya mana kamu berasal,” begitu komposer, penulis lagu, sekaligus pianis terkenal Amerika Serikat itu pernah berkata.
Itu sebabnya musik yang berasal dari satu daerah tak harus dimainkan oleh orang dari daerah tersebut. Karena musik, sebagaimana kata Joel, menghubungkan manusia melalui kemanusiaannya. Bukan oleh garis keturunan.
Maka bukanlah sebuah pelanggaran ketika ' bukan-orang-Jawa ' memainkan keroncong, seperti orkes keroncong La Paloma, sebuah grup keroncong beranggotakan 13 orang dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat. Hanya ada orang Minang dalam kelompok musik yang dibentuk tahun 2012 tersebut. Tapi musik, sekali lagi, tak peduli dari masa kita berasal. Yang berharga itu, usaha para personil La Paloma memahami keroncong itu sendiri, dengan segala seluk-beluknya.
Meski, pada suatu hari, ketika mereka membawa lagu keroncong ‘pulang kampung’, ke Solo Keroncong Festival, pada tahun 2014 lalu, ada yang mengkritik ‘ketidakpatuhan’ keroncong yang mereka mainkan. “Namun ada juga sebagian pemain keroncong di pulau Jawa yang memuji usaha kami menghadirkan keroncong dalam bentuk baru, keroncong rasa minang” kata Roni ‘Keron’, pemain bass La Paloma Selasa (1/12/2015) malam.
Tapi setidaknya, bahkan tak hanya di Solo, di berbagai kota di Indonesia pun La Paloma mengedepankan keterhubungan keroncong dengan warisan budaya lain di nusantara, bahkan dunia. “Kami mengaransemen ulang lagu Aceh, Bungong Jeumpa, yang bisa dimainkan melalui estetika keroncong musik. Termasuk juga berbagai khazanah lagu Minang, seperti Rang Talu, atau lagu dari khazanah lain sepeti Cafrinho,” tambah Keron.
La Paloma sebenarnya sudah menunjukkan keterbukaan musiknya pada khazanah lain, bahkan dimulai dari namanya sendiri. La Paloma adalah sebuah judul lagu terkenal asal Spanyol. Semenjak kehadirannya di abad 19, lagu tersebut sampai sekarang sudah banyak diolah kembali oleh berbagai musisi di dunia dengan berbagai bentuk musik, baik itu dalam gubahan opera, rock, pop, jazz, dan sebagainya.
Barangkali pada kondisi itulah La Paloma sebagai lagu latin memperkuat keberadaan nama La Paloma sebagai Orkes Kerocong yang mempunyai kecendrungan mengeksplorasi berbagai kazanah musik melalui keroncong. Seperti pada akhir tahun ini, dalam KABA Festival ke 2 di Ladang Tari Nan Jombang-Balai Baru-Padang, 13 Desember 2015 nanti, para seniman di La Paloma akan menampilkan karya terbaru berjudul ‘Mamilin Nan Tigo Sapilin,’ sebuah komposisi musik yang digarap dari kesenian Sijobang dan Keroncong.
Pada karya ini, La Palomaakan mengeksplorasi pertemuan antara kedua seni tradisi tersebut. Artinya, meski La Paloma adalah Orkes Kerocong, tapi keroncong tak hadir sepenuhnya dalam karya kali ini, dan meskipun mengarap Sijobang, seni ritual asal Kab. 50 Kota ini pun tak seutuhnya ditampilkan.
“Dalam pengolahan Sijobang, La Paloma bermain pada bagian-bagian yang terdapat dalam bentuk lagu Sijobang yang biasa dikenal dengan istilah ‘tigo sapilin’ yaitu bagian imbauan, bagian dendang 1 (dengan sukat 3/4), bagian dendang 2 (dengan sukat 2/4), dan bagian dendang 3 (dengan sukat 6/8),” tukas lulusan ISI Padangpanjang itu.